BEFORE 00:01 AM

 


Cast

✒️ Kamu sebagai Altino
✒️ Fanny
✒️ Paman Irwan
✒️ Frans
✒️ Vero

Blurp

Bayangkan jika dirimu jadi Altino. Kamu terpaksa tinggal di rumah pamanmu. Pamanmu yang baru meninggal sebulan lalu. Seram, berhantu, itu yang bakal kamu rasakan sampai akhirnya kamu bertemu Fanny, mantan kekasih pamanmu.


Luas, ruangan kamar yang luas, lebih luas daripada kamar lama kamu, dengan ukuran 5x5 meter lebih dari cukup untuk menaruh sebuah spring bed luxury king dan lemari setinggi langit-langit. Menurut kamu, luas tidak?

Menurutku sih, sudah.

Truk pengangkut barang-barang dari rumah lama kamu baru saja mendarat sore ini. Entah ini sudah keberapa kalinya kamu harus mengangkat barang-barang ke lantai dua sendirian, pinggangmu sampai pegal.

Ceritanya, kamu baru pindah rumah—rumah besar milik pamanmu—hari ini genap delapan puluh hari kematian pamanmu. Kamu dan pamanmu selisih sepuluh tahun. Orangnya baik, ramah, dan tidak sombong, itu yang kamu tangkap dari obrolan kamu, dan pamanmu di setiap kesempatan ngumpul bareng keluarga.

Rumah bergaya scandinavian dengan jendela besar mengelilingi sebagian bangunan rumah. Tampak depan berlantai satu, tapi jangan salah, rumah ini sebenarnya berlantai tiga. Kamu juga baru tahu setelah kemarin sempat mengelilingi sebagian ruangan dari rumah ini. Seolah tak habis pikir, kamu menggelengkan kepala sembari bermonolog membatin, bagaimana bisa pamanku tinggal di dalam rumah sebesar ini sendirian.

Tangga berkelok menuju lantai atas membuat kamu hampir mati penasaran, tapi kamu masih enggan untuk melihatnya sekarang. Kamu lebih memilih membereskan barang-barang di dalam kamar ini dulu, supaya tidak kelihatan mirip tempat pembuangan sampah.

Dulu, dulu sekali, waktu acara syukuran pindah rumah, kamu pernah ngopi bareng paman di warung kopi dekat rumahnya. Paman cerita kalau pacarnya yang mendesain rumahnya dan hanya butuh waktu tiga bulan penyelesaian pembangunan rumah.

Well, kamu sebetulnya tidak terlalu peduli tentang cerita pamanmu. Jujur, kamu terpaksa tinggal di rumah ini. Kamu tidak akan sudi tinggal di rumah ini, kalau bukan karena perusahaan memindahkan kamu ke kantor cabang yang dekat daerah rumah pamanmu. Terlebih lagi mama tercinta memaksamu untuk tinggal, sambil mengomel di telepon, “Sayang ... rumahnya kosong, tidak ada yang ninggali, daripada kamu buang-buang duit buat bayar kontrakan.”

Yah, begitulah para mama, selalu mempersalahkan hal yang menurut kamu sepele.

Selesai bebenah, kamu berangkat membawa selembar handuk menuju kamar mandi. Kamar mandi ada di sebelah kamar tidur. Wow! Kamu bisa bayangkan. Ukuran kamar mandi ini cukup luas untuk sepuluh orang manusia.

Cobalah untuk mandi sendirian, sekarang. Bagaimana rasanya? Kamu yakin kamu mau mandi sendirian, pasti kamu merasakan ada sosok seram yang mengintip dari balik pintu.

Baru sekarang kamu merasakan mandi dengan hati yang tak tenang, was-was, takut. Buru-buru kamu menyambar handuk dari gantungan, berjalan sedikit berlari.

Klotak!

Bunyi benda jatuh menyentak sejenak ketenanganmu, membuat matamu terpaksa menolah ke arah pintu kamar. Dengar ... jantungmu, berdetak dua kali lebih cepat.

Tikus, mungkin cuma suara tikus main petak umpet, batinmu coba menghibur diri.

Tinggal membetulkan kancing terakhir dan kamu akan segera ke lantai bawah untuk makan. Perutmu tidak bisa diajak kompromi, ditahan-tahan malah semakin kelaparan. Kamu berlagak sok tenang, meskipun telingamu mendengar suara-suara asing berkasak-kusuk di belakang punggungmu. Kakimu menuruni anak tangga satu per satu sembari memerhatikan setiap sudut tembok, coba mencari tahu hal gaib, siapa tahu ada mas cong muncul di depan muka kamu sambil nyengir nganggur.

Sayang, tidak ada siapa-siapa di sini, cuma kamu.

Drt ...

Getar ponsel di atas meja makan mengagetkan kamu. Tertulis nama Mamaku di layar hologram bergambar hamster kesayanganmu.

Ya, Ma.

Gimana, Nak. Kerasan.

Baru selesai beres-beres, Ma. Ini mau makan.

Ya, sudah. Kamu makan dulu. Besok Mama telepon lagi.

Ya, Ma.

Sudah selesai kan teleponnya, sekarang masukkan dulu ponselmu ke dalam saku baju. Ini waktunya kamu mencemplungkan mie ke dalam panci. Ingat! Jangan terlalu matang mienya, nanti rasanya kayak bubur.

Sambil menunggu mie matang kamu bersiul lirih, menyanyikan lagu Stuck with U-Aria Grande, Justin Bieber.

Selesai mengaduk mie bersama campuran bumbu, kamu mengambil sebotol air mineral di dalam kulkas yang baru kamu beli tadi pagi di supermarket dekat rumah. Lalu kamu membawa piring dan botolmu menuju ruang TV. Ukuran TV ini terlalu besar untuk kamu pelototi sendirian. Kamu yang biasa melihat televisi berukuran 32 inch, sekarang melihat televisi berukuran 60 inch, serasa menonton bioskop.

Berapa menit waktu yang kamu perlukan untuk menghabiskan mie buatan sendiri sembari menonton TV?

Untung tidak ada kejadian aneh yang terjadi sampai kamu kembali ke kamar. Hei! Ada sesuatu yang ganjil terdengar, suara gemericik air, tampaknya dari arah kamar mandi. Suaranya semakin jelas terdengar ketika kamu beranikan diri berjalan mendekat ke pintu. 

Kamu lupa mematikan keran?

Pada dasarnya kamu memang pelupa, sering kali tidak mengunci pintu atau mengembalikan barang pada tempatnya. Perasaan tadi sudah kamu matikan, tapi mungkin iya, kamu lupa.

Ragu-ragu kamu pegang kenop pintu, tanganmu mulai basah berkeringat, kenapa? Takut? Nggak usah takut, kamu pemberani.

Akhirnya kamu berani membuka pintu, memijakkan kaki secara pasti, melangkah pelan-pelan memasuki kamar mandi. Benar saja, air mengucur rintik-rintik dari keran air bathtup yang kosong. Tanpa pikir panjang kamu mematikannya dengan cepat, lalu membalikkan badan, keluar dari kamar mandi.

Larut malam, sekitar pukul 23.50. Matamu sudah cukup lelah untuk melihat, tapi belum juga mengantuk. Namun, beberapa detik kemudian pandangan kamu berubah gelap, kamu merasa pusing, tidak tahu kenapa. Sesak, tubuh kamu seolah-olah tertindih kargo pengangkut beras bulog. Dadamu terasa sakit, napasmu seolah tercekat di tenggorokan, berhenti berembus sejenak. Bisa kembali bernapas normal setelah akhirnya mencoba menarik napas dalam-dalam. Sakit, sekujur badan kamu sakit semua, muncul bayangan, seolah-olah kamu sedang berjalan sendirian di dalam kegelapan, tanpa setitik cahaya penerang. Berjalan dan berjalan, jalan tak berujung.

Pagi yang cerah, kamu mendapati dirimu terbaring di atas tempat tidur sambil memegangi kepala, kepalamu terasa pusing berputar-putar. Jam berapa ini?

Kaget! Saat matamu menoleh ke samping. Ada seonggok berambut panjang dengan tubuh tertutup selimut. Matamu mengecek. Kamu hanya memakai celana jeans yang kamu pakai semalam, tanpa kemeja krem menutupi dada.

Kamu kembali melihat ke sebelah kasurmu, menarik selimut yang menutupi sesuatu, entah apa itu. Astaga! Ada apa ini. Matamu melotot lebar, melihat seorang gadis cantik berkulit putih sedang meringkuk, kedua matanya terpejam. Gadis itu berpakaian lengkap, blus warna pink dengan celana denim hitam.

Hei, siapa kamu? seru kamu ketus, bangun!

Gadis itu mengucek matanya pelan. Hng ... mata beloknya mengerjap sejenak, membelalak menatap, kemudian melompat bak ibu kanguru, melompat dari tempat tidur. Berlari secepat kilat menuju pintu.

Kamu menggelengkan kepala tak mengerti. Tidak paham dengan apa yang terjadi barusan. Kamu berlari mengejar gadis itu, tapi dia sudah keburu kabur, dan menghilang entah ke mana. Kamu bertanya pada ART tetangga sebelah rumah yang sedang membuang sampah. Eh! Dia malah menjawab, tidak ada orang lewat. Aish! Yang benar saja, masa hantu.

Tiga hari setelah kejadian, kamu semakin takut untuk pulang ke rumah. Kamu membawa beberapa baju dan memilih untuk menginap di rumah Frans, teman baru di kantormu. Sebetulnya bukan teman baru, Frans lebih dulu dipindahkan ketimbang kamu, sudah berjalan dua tahun.

Awalnya Frans tidak mau kamu menginap di rumahnya dengan alasan tidak mau diganggu, tapi akhirnya ia memperbolehkan kamu tinggal setelah kamu bercerita tentang hantu di rumah. Namun, hari ini kamu harus pulang, tidak enak kalau menginap lebih lama di rumah Frans. Betul, tidak?

Pukul 17.15 mobil kamu berhenti di depan pagar rumah, membuka pintu pagar, dan memasukkan mobil ke dalam garasi. Kamu berdiam di dalam mobil, menyiapkan hati, dan keberanian untuk masuk ke dalam rumah.

Kakimu mulai memasuki rumah. Sepi, sama seperti kedatanganmu pertama kali di rumah ini. Cuma hatimu sedikit bisa merasa tenang sekarang. Sebenarnya, kemarin kamu  menelepon sepupumu yang ahli dalam mengusir hantu, dan kamu memintanya untuk melihat rumah ini. Apakah ada hantu yang mengganggu.

Kemarin sore saat kamu masih di kantor, Hery (sepupumu) menelepon, mengatakan kalau di rumahmu sudah tidak ada apa-apa. Ia hanya mengusir beberapa hantu pengganggu yang iseng mampir untuk sekedar menyapa. Menyapa! Yang benar saja, begitukah cara mereka menyapa dengan benar.

Tak mau sendirian di rumah, kamu menelepon teman-teman pria (teman sekantor), bermaksud membuat party kecil, dengan alasan syukuran pindah rumah. Yah, hanya untuk sekedar makan, nonton film, dan main game. Itu yang biasa kamu lakukan untuk menghabiskan waktu senggang bersama teman-teman kantor lama, dulu. Berhubung besok hari libur, jadi teman yang kamu undang pada datang. Tidak banyak, hanya satu orang teman lama, dan empat orang teman yang baru kamu kenal. Ferdy, Rian, Eko, Dimas, dan Vero, sebuah cara dadakan yang tidak pernah kamu rencanakan sebelumnya, jadinya kamu terpaksa harus belanja bahan makanan untuk mereka, karena tidak ada secuil makanan di dalam kulkas yang bisa dimakan. Lihat saja! Kulkasmu bersih, kosong melompong.

Riuh canda tawa mengisi suasana rumah yang kosong. Kamu bisa merasa tenang sejenak, karena ada banyak teman yang menemani kamu di rumah. Mereka berlima bahkan bersedia menginap sampai besok pagi, maklum masih jomlo, belum ada yang punya pacar, apalagi istri, just happy single man. Namun, siapa sangka, sesuatu yang menghebohkan terjadi.

Pagi ini, pukul 9 pagi. Kamu terbangun dengan tangan kiri terbalut kasa, merasakan sakit di sekitar area lengan. Bingung, kamu yang tidak tahu apa yang terjadi semalam segera mengubungi Vero, karyawan paling jujur di kantormu. Vero bahkan tidak bisa berbohong saat kalian berdua bolos setengah hari untuk healing, makan bersama di luar. Hasilnya, Bos Evan memanggil kalian bertiga, kamu, Vero, dan Rian. Untungnya si Bos tidak marah besar, hanya mengingatkan untuk tidak bolos selama jam kerja.

Ver…”

Apa?

Kamu tadi malam pulang jam berapa?” kamu bertanya sembari membetulkan rambut ke belakang.

Jam satuan.

Jam satu, jadi aku sendirian di rumah,” kata kamu membelalakkan mata kaget.

Enggak, ada pacar kamu yang nemenin.


Bulu kuduk kamu spontan berdiri ketika Vero mengucap kata pacar. Pacar siapa? alismu menarik terheran, loh, lo kan tahu gue nggak punya pacar.

Terus yang nganter lo semalem siapa? timpal Vero bertanya, nada bicaranya terdengar bingung.

Maksud lo?

Nggak tahulah, gue jadi bingung.

Emang semalam gue ngapain. Bukannya gue tidur duluan. Kamu coba mengingat kejadian semalam, tapi tidak ada yang muncul dalam kepalamu.

Iya, jam sebelas lo tidur. Terus jam dua belas bangun, terus keluar.

Keluar ke mana? kamu semakin bingung mendengar penjelasan Vero yang semakin tak masuk di akal.

Nggak tahu. Kamu keluar jalan kaki, terus balik sama Fanny.”

Mendengar ucapan Vero semakin membuatmu tak mengerti, membuat kamu menggaruk kepala yang tidak gatal.

Siapa pacar lo? Manis, ada lesung pipinya lagi, kata Vero terdengar suka.

Pacar siapa? Gue baru bangun. Tahu-tahu tangan gue kok luka, makanya gue tanya lo.” Wajah kamu berubah masam, kesal sendiri mendengar ucapan Vero.

Iya, kemarin Fanny bilang tangan lo sobek gara-gara melerai orang berantem di rumah sakitnya.

Kepala kamu mendadak makin pusing mendengar penjelasan yang dikatakan Vero. Berantem? Rumah sakit?

Tuh, cewek. Siapa namanya?

Fanny.

Iya, Fanny. Dia bilang kerja di mana?

Kamu bertanya hal ini supaya kamu bisa menemuinya. Iya kan?

Di RS Husada 1.

Dia nyebutin nama lengkap nggak? kamu bertanya lebih mendetail, berharap segera bertemu langsung dengan si pemilik nama.

Enggaklah. Buat apa juga gue tanya nama lengkapnya, emang mau ngelamar.

Vero selalu menyelipkan humor di sela bicara, ia memang pria humoris, tidak seperti kamu.

Kamu tertawa terkekeh. Emang lo mau sama hantu,

Kok hantu sih! Bukanlah, wong semalem kita berempat ngobrol banyak sama dia, seru Vero menyanggah tuduhanmu. Yah, Dia sih bilang kalau dia tuh perawat yang lagi magang, belum sepenuhnya jadi perawat.

Oh ya, perawat, balasmu dengan nada tak percaya.

Eh, udah ya. Gue mau anter adek gue dulu, kata Vero sebelum menutup telepon.

Kamu segera beranjak dari tempat tidur, mandi, kemudian ganti baju. Menyambar kunci mobil yang ada di atas nakas sebelah tempat tidur. Berjalan terburu-buru ke garasi selesai mengunci pintu rumah, sebetulnya tadi kamu hampir saja lupa, sampai akhirnya kamu ingat, memutar badan lalu mengunci pintu rumah lebih dulu.

Kamu membanting setir, berbelok tajam di tikungan perempatan saat lampu kuning menyala. Sekarang, kepalamu seolah penuh dengan pertanyaan, kenapa, kok bisa. Kamu sadar kejadian-kejadian aneh terjadi setelah kamu tinggal di rumah paman, tapi ... Hery bilang  hantunya sudah diusir, kenapa masih ada saja yang terjadi. Matamu melirik luka di lenganmu sembari meringis kesakitan, kamu benar-benar tidak tahu apa yang terjadi semalam, yang kamu ingat hanyalah tidur, dan bangun tidur.

Mungkin inilah waktunya kamu untuk mencari tahu sendiri, jika kamu memang ingin tahu kenapa, kok bisa gadis itu ada di saat kamu tidak sadarkan diri.

Langkah tegapmu tak sesigap hatimu yang meragu. Kamu duduk di kursi tunggu, menunggu dengan hati tak tenang, setelah 5 menit yang lalu meninggalkan sebuah pesan di meja resepsionis. Sekarang kamu basahi dulu bibirmu, bibirmu mulai kering sekering kerongkonganmu, kupikir kamu harus minum sedikit untuk membasahi otakmu juga.

Sekembalinya dari kantin, kamu terkejut, tapi tidak begitu yakin. Matamu mendapati sesosok makhluk bermata sama seperti gadis yang kamu temukan di kamarmu pagi itu. Lihat! Gadis itu menoleh kanan, kemudian ke kiri, pandangannya mengedar seolah sedang mencari-cari seseorang.

Tunggu! Kenapa matamu tak berkedip, kamu lihat apa?

Oo, ternyata itu toh yang kamu lihat. Gadis yang mengangkat rambutnya ke atas, menguncir kuda. Manis ya, semanis gulali rasa pelangi.

Perlahan tapi pasti, kamu mendekati gadis itu, kemudian duduk di sebelahnya tanpa bersuara. Dia terperanjat, terkejut melihat penampakan kamu yang tiba-tiba duduk di sebelahnya. Kamu tidak tahu kalau dia malu, kamu hanya berpikir,  kok dia geser duduknya, emang aku kuman.

Kamu Fanny kan. Ujung jari telunjuk kananmu menunjuk di depannya. Matamu menatap wajahnya lebih lama.

Mmm, iya, jawabnya sedikit kaku, mungkin dia merasa canggung.

Sepi, kalian berdua tiba-tiba terdiam tanpa kata. Saling membuang muka, mengatupkan bibir masing-masing dengan ujung daun telinga yang memerah delima. Kamu berharap dia akan bertanya tentang namamu atau yang lainnya.

Mmm, tangan kamu gimana? Masih sakit? nada bicaranya terdengar sedikit cemas.

Akhirnya dia bicara setelah kamu berdeham kecil, mungkin dia paham jika itu sebuah isyarat.

Nggak, nggak apa-apa kok, jawabmu berbohong, karena tadi pagi pun saat mandi, lenganmu masih terasa sakit.

Syukurlah.

Seutas senyuman simpul menarik garis matanya. Ada nada lega dari ucapan gadis itu dan sekarang adalah waktumu untuk bertanya padanya.

Mmm, boleh tanya, jangan tersinggung ya.

Tersinggung? mukanya tampak bingung.

Hei! Yang jelas ngomongnya. Lihat, dia jadi bingung

Bukan, maksudku, kamu berhenti di awal bicara, berpikir sejenak mencari sebuah kata yang pas untuk bertanya. Mmm, semalam aku sama kamu?

Gadis itu mengangguk pelan.

Apa yang aku lakuin? tanyamu ragu-ragu.

Maksudnya?

Ya, maksudnya semalam aku nemuin kamu terus tanganku luka.

Dia mengangguk sekali lagi. Iya.

Otak kecilmu mulai berpikir, berpikir mencari jawaban dari semua ini.

Fanny, kok di situ, dari tadi dicariin.

Kalian menoleh bersamaan ketika seorang wanita berbadan gemuk, sekitar 90 kiloan memanggil nama gadis itu dengan muka ketus.

Iya, Bu. Sebentar ada teman saya. Wajah Fanny berubah, raut mukanya berubah cemas.

Kayaknya aku ganggu. Kamu balik kerja deh, katamu kalem, membiarkannya kembali bekerja.

Oke. Maaf ya, nggak bisa lama-lama. Kata-katanya terdengar sangat tulus saat meminta maaf.

Nggak apa-apa.

Baru dua langkah, Fanny sudah membalikkan badan, dan berkata, Nanti sore kamu bisa ke sini. Gantiin perban kamu.

Oh, oke. Nanti sore aku ke sini. Kamu menggerakkan jari menyerupai huruf O, sebagai tanda kalau kamu menyetujui permintaannya.

Kamu kembali ke rumah setelah mengantongi janji bertemu lagi dengan Fanny. Anehnya, dari nada bicaranya tadidia seperti sudah mengenal kamupadahal kalian baru saja ketemu. Dia bahkan tidak bertanya tentang namamu.

Seharian ini kamu menghabiskan waktu di rumah untuk memperbaiki halaman belakang rumah yang tandus, sudah dari kemarin kamu berniat untuk membersihkannya. Sedikit berhasil membuatmu lupa tentang masalah hantu dalam rumah.

Matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Hei! Kamu lupa ya, kalau ada janji dengan Fanny. Sudah jam berapa ini, benar-benar terlambat, kamu sih enggak lihat jam.

Kaget! Sumpah kaget. Kamu baru saja mau berangkat, tiba-tiba saja Fanny sudah berdiri di depan pagar pintu rumah. Sweater lengan panjang warna krem dengan celana denim warna biru tua. Rambut panjangnya dikuncir kuda ke atas. Penampilannya yang casual terlihat bersinar di matamu, seolah-olah ada lampu sorot yang menyoroti wajahnya.

Hai!

Hai! jawabmu melambaikan tangan sekali.

Kamu berjalan sedikit berlari, terburu-buru membukakan pintu pagar untuknya.

Ini aku baru mau ke sana. Kamu menunjukkan kunci mobilmu di depannya.

Nggak apa-apa sekalian jalan. Aku dah biasa ke sini. Saat itu juga Fanny mengulum bibirnya ke dalam, menahan ucapan yang terlanjur keluar.

Bukannya tersenyum manis, kamu malah tersenyum kecut saat mempersilakan Fanny masuk. Kalian berjalan beriringan memasuki rumah. Dia seakan tidak canggung ketika masuk ke dalam rumah dan ajaibnya, dia bahkan tahu letak dapur di    rumah ini. Kamu memandanginya tak percaya ketika Fanny menaruh buah ke atas meja makan.

Hei! Tanganmu. Kenapa berdarah, pekiknya bermuka panik.

Spontan membuatmu menutupi luka yang ada di tangan kananmu Nggak apa-apa. Tadi cuma bersih-bersih.

Cuma bersih-bersih masa sampai berdarah, tukasnya mengomeli kamu, “tunggu sebentar, aku ke kamar mandi dulu.

Kamar mandi, ada di—“

Aku tahu kok. Matanya melebar saat mengatakan hal itu, seakan-akan dia tahu satu hal paling hebat. Mmm, aku ke, kamar mandi dulu.

Selesai dari kamar mandi, Fanny kembali duduk di sebelahmu. Entah dari mana Fanny  mendapat kotak obat, yang kamu tahu, dia sedang sibuk mengobati lukamu sekarang, mengganti kasa penuh darah dengan yang baru. Saat itulah hatimu tergelitik untuk bertanya.

Fan, dari mana kamu tahu?

Tahu apa?” sela Fanny di tengah-tengah pertanyaan yang kamu lontarkan.

Jari telunjuk kanan Fanny menunjuk bergantian ke arah dapur dan kamar mandi. Aku yang desain rumah ini.

Jantungmu seakan berhenti sejenak ketika Fanny mengutarakan pengakuannya di depanmu.

Kamu?

Ya, aku pacarnya Mas Irwan.

Irwan adalah nama panggilan pamanmu dan gadis yang kini sedang menatapmu adalah bekas pacar pamanmu. Benar adanya kalau Fanny yang mendesain rumah ini. Kamu ingat tidak? Paman pernah bercerita kalau rumahnya di desain oleh pacarnya sendiri dan paman berencana untuk menikahinya tahun depan.

Fanny pun menceritakan semua yang dialaminya padamu. Tentang bagaimana sakit hatinya dia ketika pamanmu tiba-tiba memutuskan hubungan secara sepihak. Fanny juga tidak tahu kalau sebelum tiada, paman sempat dirawat di rumah sakit tempat dia bekerja. Dan tentang malam itu, ketika kalian tidur bersama. Pukul 00.10 sepulang dari kerja, Fanny menemukan kamu duduk dengan kedua kaki selonjor di depan rumah kontrakannya. Bisa kamu bayangkan, betapa susahnya dia malam itu, terpaksa harus menyeret, dan memboncengmu sampai ke rumah. Bajumu basah gara-gara kamu menampik segelas air yang diberikan Fanny padamu, karena khawatir, Fanny memutuskan tidak pulang, dan tertidur hingga pagi.

Aku sampai bingung. Kamu diem aja, nggak bilang apa-apa. Cuma liatin aku terus.

Oya, tadi malam juga.

Ya.

Terus kamu tahu dari mana aku tinggal di sini.

Mau tahu?

Enggak.

Belum-belum kamu sudah membayangkan hal seram lebih dulu.

Fanny menarik tangan kirimu paksa, menautkan ibu jarinya ke jarimu, mengaitkan dengan jari telunjuk, mirip gembok. Seutas senyum simpul tersungging dari bibirnya yang mungil.

Aku tahu kalau waktu itu kamu, Mas Irwan. Dan aku tahu kalau orang yang di depanku sekarang adalah kamu.

Helaan kecil terdengar dari napas pendekmu. Aku nggak bisa ngomong apa-apa sekarang.

Ya nggak usah ngomong, balas Fanny menahan senyuman.

Aku tahu mungkin paman masih—“ katamu tak berniat melanjutkan bahasan tentang arwah pamanmu. “Mmm, tapi jangan samakan aku dengan paman.

Ya enggaklah.

Fanny. Lihat aku.

Apa.

Sebelum 00.01 aku mau ngomong ini ke kamu. Sebelum aku berubah jadi bukan aku.

Fanny menatap wajahmu sambil senyum. Apaan sih, mau ngomong apa?

Lihat aku," pintamu padanya dengan muka serius.

Fanny melihat, menatapmu, kemudian kamu berkata, "cuma ada kamu di mataku."

Terus kenapa? 

I think I'm in love with you.

Saat itulah wajah Fanny berubah memerah, semerah tomat yang baru matang. Kalian berdua saling melempar senyum, senyum bahagia. Mungkin ini semua rencana paman, tapi kamu lebih percaya kalau semua ini rencana Tuhan, mempertemukan kalian dengan cara yang unik.

Brak!

Suara pintu. Kalian berdua menoleh kaget saat pintu rumah menutup sendiri dengan kasar.





Post a Comment

1 Comments

  1. Wah, keren. Coba cerpennya lebih banyak. Pasti lebih seru bacanya

    ReplyDelete