BEFORE 00:01 AM
Cast
Blurp
Bayangkan jika dirimu jadi Altino. Kamu terpaksa tinggal di rumah pamanmu. Pamanmu yang baru meninggal sebulan lalu. Seram, berhantu, itu yang bakal kamu rasakan sampai akhirnya kamu bertemu Fanny, mantan kekasih pamanmu.
| Luas, ruangan kamar yang luas, lebih luas daripada kamar lama kamu, dengan ukuran 5x5 meter lebih dari cukup untuk menaruh sebuah spring bed luxury king dan lemari setinggi langit-langit. Menurut kamu, luas tidak? |
Menurutku sih, sudah.
Truk pengangkut barang-barang
dari rumah lama kamu baru saja mendarat sore ini. Entah ini sudah keberapa kalinya
kamu harus mengangkat barang-barang ke lantai dua sendirian, pinggangmu sampai
pegal.
Ceritanya, kamu baru
pindah rumah—rumah besar milik pamanmu—hari ini genap delapan puluh hari
kematian pamanmu. Kamu dan pamanmu selisih sepuluh tahun. Orangnya baik, ramah,
dan tidak sombong, itu yang kamu tangkap dari obrolan kamu, dan pamanmu di
setiap kesempatan ngumpul bareng keluarga.
Rumah bergaya
scandinavian dengan jendela besar mengelilingi sebagian bangunan rumah. Tampak
depan berlantai satu, tapi jangan salah, rumah ini sebenarnya berlantai tiga. Kamu
juga baru tahu setelah kemarin sempat mengelilingi sebagian ruangan dari rumah
ini. Seolah tak habis pikir, kamu menggelengkan kepala sembari bermonolog
membatin, bagaimana bisa pamanku tinggal di dalam rumah sebesar ini
sendirian.
Tangga berkelok
menuju lantai atas membuat kamu hampir mati penasaran, tapi kamu masih enggan untuk
melihatnya sekarang. Kamu lebih memilih membereskan barang-barang di dalam
kamar ini dulu, supaya tidak kelihatan mirip tempat pembuangan sampah.
Dulu, dulu sekali,
waktu acara syukuran pindah rumah, kamu pernah ngopi bareng paman di warung
kopi dekat rumahnya. Paman cerita kalau pacarnya yang mendesain rumahnya dan
hanya butuh waktu tiga bulan penyelesaian pembangunan rumah.
Well, kamu
sebetulnya tidak terlalu peduli tentang cerita pamanmu. Jujur, kamu terpaksa
tinggal di rumah ini. Kamu tidak akan sudi tinggal di rumah ini, kalau bukan karena
perusahaan memindahkan kamu ke kantor cabang yang dekat daerah rumah pamanmu.
Terlebih lagi mama tercinta memaksamu untuk tinggal, sambil mengomel di
telepon, “Sayang ... rumahnya kosong, tidak ada yang ninggali, daripada kamu buang-buang
duit buat bayar kontrakan.”
Yah, begitulah para
mama, selalu mempersalahkan hal yang menurut kamu sepele.
Selesai bebenah, kamu
berangkat membawa selembar handuk menuju kamar mandi. Kamar mandi ada di
sebelah kamar tidur. Wow! Kamu bisa bayangkan. Ukuran kamar mandi ini cukup
luas untuk sepuluh orang manusia.
Cobalah untuk mandi
sendirian, sekarang. Bagaimana rasanya? Kamu yakin kamu mau mandi sendirian,
pasti kamu merasakan ada sosok seram yang mengintip dari balik pintu.
Baru sekarang kamu merasakan
mandi dengan hati yang tak tenang, was-was, takut. Buru-buru kamu menyambar handuk
dari gantungan, berjalan sedikit berlari.
Klotak!
Bunyi benda jatuh menyentak
sejenak ketenanganmu, membuat matamu terpaksa menolah ke arah pintu kamar. Dengar
... jantungmu, berdetak dua kali lebih cepat.
Tikus, mungkin
cuma suara tikus main petak umpet, batinmu coba menghibur diri.
Tinggal membetulkan
kancing terakhir dan kamu akan segera ke lantai bawah untuk makan. Perutmu tidak
bisa diajak kompromi, ditahan-tahan malah semakin kelaparan. Kamu berlagak sok
tenang, meskipun telingamu mendengar suara-suara asing berkasak-kusuk di
belakang punggungmu. Kakimu menuruni anak tangga satu per satu sembari
memerhatikan setiap sudut tembok, coba mencari tahu hal gaib, siapa tahu ada
mas cong muncul di depan muka kamu sambil nyengir nganggur.
Sayang, tidak ada
siapa-siapa di sini, cuma kamu.
Drt ...
Getar ponsel di atas
meja makan mengagetkan kamu. Tertulis nama Mamaku di layar hologram
bergambar hamster kesayanganmu.
“Ya,
Ma.”
“Gimana,
Nak. Kerasan.”
“Baru
selesai beres-beres, Ma. Ini mau makan.”
“Ya,
sudah. Kamu makan dulu. Besok Mama telepon lagi.”
“Ya,
Ma.”
Sudah selesai kan
teleponnya, sekarang masukkan dulu ponselmu ke dalam saku baju. Ini waktunya kamu
mencemplungkan mie ke dalam panci. Ingat! Jangan terlalu matang mienya, nanti
rasanya kayak bubur.
Sambil menunggu mie
matang kamu bersiul lirih, menyanyikan lagu Stuck with U-Aria Grande, Justin
Bieber.
Selesai mengaduk mie
bersama campuran bumbu, kamu mengambil sebotol air mineral di dalam kulkas yang
baru kamu beli tadi pagi di supermarket dekat rumah. Lalu kamu membawa piring
dan botolmu menuju ruang TV. Ukuran TV ini terlalu besar untuk kamu pelototi
sendirian. Kamu yang biasa melihat televisi berukuran 32 inch, sekarang melihat
televisi berukuran 60 inch, serasa menonton bioskop.
Berapa menit waktu
yang kamu perlukan untuk menghabiskan mie buatan sendiri sembari menonton TV?
Untung tidak ada
kejadian aneh yang terjadi sampai kamu kembali ke kamar. Hei! Ada sesuatu yang
ganjil terdengar, suara gemericik air, tampaknya dari arah kamar mandi.
Suaranya semakin jelas terdengar ketika kamu beranikan diri berjalan mendekat
ke pintu.
Kamu lupa
mematikan keran?
Pada dasarnya kamu
memang pelupa, sering kali tidak mengunci pintu atau mengembalikan barang pada
tempatnya. Perasaan tadi sudah kamu matikan, tapi mungkin iya, kamu lupa.
Ragu-ragu kamu pegang
kenop pintu, tanganmu mulai basah berkeringat, kenapa? Takut? Nggak usah takut,
kamu pemberani.
Akhirnya kamu berani
membuka pintu, memijakkan kaki secara pasti, melangkah pelan-pelan memasuki
kamar mandi. Benar saja, air mengucur rintik-rintik dari keran air bathtup yang
kosong. Tanpa pikir panjang kamu mematikannya dengan cepat, lalu membalikkan
badan, keluar dari kamar mandi.
Larut malam, sekitar
pukul 23.50. Matamu sudah cukup lelah untuk melihat, tapi belum juga mengantuk.
Namun, beberapa detik kemudian pandangan kamu berubah gelap, kamu merasa
pusing, tidak tahu kenapa. Sesak, tubuh kamu seolah-olah tertindih kargo
pengangkut beras bulog. Dadamu terasa sakit, napasmu seolah tercekat di
tenggorokan, berhenti berembus sejenak. Bisa kembali bernapas normal setelah
akhirnya mencoba menarik napas dalam-dalam. Sakit, sekujur badan kamu sakit
semua, muncul bayangan, seolah-olah kamu sedang berjalan sendirian di dalam
kegelapan, tanpa setitik cahaya penerang. Berjalan dan berjalan, jalan tak berujung.
Pagi yang cerah, kamu
mendapati dirimu terbaring di atas tempat tidur sambil memegangi kepala, kepalamu
terasa pusing berputar-putar. Jam berapa ini?
Kaget! Saat matamu
menoleh ke samping. Ada seonggok berambut panjang dengan tubuh tertutup
selimut. Matamu mengecek. Kamu hanya memakai celana jeans yang kamu pakai
semalam, tanpa kemeja krem menutupi dada.
Kamu kembali melihat
ke sebelah kasurmu, menarik selimut yang menutupi sesuatu, entah apa itu.
Astaga! Ada apa ini. Matamu melotot lebar, melihat seorang gadis cantik
berkulit putih sedang meringkuk, kedua matanya terpejam. Gadis itu berpakaian
lengkap, blus warna pink dengan celana denim hitam.
“Hei,
siapa kamu?” seru kamu ketus, “bangun!”
Gadis itu mengucek
matanya pelan. “Hng ...”
mata beloknya mengerjap sejenak, membelalak menatap, kemudian melompat bak ibu
kanguru, melompat dari tempat tidur. Berlari secepat kilat menuju pintu.
Kamu menggelengkan
kepala tak mengerti. Tidak paham dengan apa yang terjadi barusan. Kamu berlari
mengejar gadis itu, tapi dia sudah keburu kabur, dan menghilang entah ke mana.
Kamu bertanya pada ART tetangga sebelah rumah yang sedang membuang sampah. Eh!
Dia malah menjawab, tidak ada orang lewat. Aish! Yang benar saja, masa hantu.
Tiga hari setelah
kejadian, kamu semakin takut untuk pulang ke rumah. Kamu membawa beberapa baju
dan memilih untuk menginap di rumah Frans, teman baru di kantormu. Sebetulnya
bukan teman baru, Frans lebih dulu dipindahkan ketimbang kamu, sudah berjalan
dua tahun.
Awalnya Frans tidak
mau kamu menginap di rumahnya dengan alasan tidak mau diganggu, tapi akhirnya ia
memperbolehkan kamu tinggal setelah kamu bercerita tentang hantu di rumah.
Namun, hari ini kamu harus pulang, tidak enak kalau menginap lebih lama di
rumah Frans. Betul, tidak?
Pukul 17.15 mobil
kamu berhenti di depan pagar rumah, membuka pintu pagar, dan memasukkan mobil
ke dalam garasi. Kamu berdiam di dalam mobil, menyiapkan hati, dan keberanian
untuk masuk ke dalam rumah.
Kakimu mulai memasuki
rumah. Sepi, sama seperti kedatanganmu pertama kali di rumah ini. Cuma hatimu
sedikit bisa merasa tenang sekarang. Sebenarnya, kemarin kamu menelepon sepupumu yang ahli dalam mengusir
hantu, dan kamu memintanya untuk melihat rumah ini. Apakah ada hantu yang
mengganggu.
Kemarin sore saat kamu
masih di kantor, Hery (sepupumu) menelepon, mengatakan kalau di rumahmu sudah
tidak ada apa-apa. Ia hanya mengusir beberapa hantu pengganggu yang iseng
mampir untuk sekedar menyapa. Menyapa! Yang benar saja, begitukah cara mereka menyapa
dengan benar.
Tak mau sendirian di
rumah, kamu menelepon teman-teman pria (teman sekantor), bermaksud membuat party
kecil, dengan alasan syukuran pindah rumah. Yah, hanya untuk sekedar makan,
nonton film, dan main game. Itu yang biasa kamu lakukan untuk menghabiskan
waktu senggang bersama teman-teman kantor lama, dulu. Berhubung besok hari
libur, jadi teman yang kamu undang pada datang. Tidak banyak, hanya satu orang
teman lama, dan empat orang teman yang baru kamu kenal. Ferdy, Rian, Eko,
Dimas, dan Vero, sebuah cara dadakan yang tidak pernah kamu rencanakan
sebelumnya, jadinya kamu terpaksa harus belanja bahan makanan untuk mereka,
karena tidak ada secuil makanan di dalam kulkas yang bisa dimakan. Lihat saja! Kulkasmu
bersih, kosong melompong.
Riuh canda tawa
mengisi suasana rumah yang kosong. Kamu bisa merasa tenang sejenak, karena ada
banyak teman yang menemani kamu di rumah. Mereka berlima bahkan bersedia
menginap sampai besok pagi, maklum masih jomlo, belum ada yang punya pacar,
apalagi istri, just happy single man. Namun, siapa sangka, sesuatu yang
menghebohkan terjadi.
Pagi ini, pukul 9
pagi. Kamu terbangun dengan tangan kiri terbalut kasa, merasakan sakit di
sekitar area lengan. Bingung, kamu yang tidak tahu apa yang terjadi semalam
segera mengubungi Vero, karyawan paling jujur di kantormu. Vero bahkan tidak
bisa berbohong saat kalian berdua bolos setengah hari untuk healing,
makan bersama di luar. Hasilnya, Bos Evan memanggil kalian bertiga, kamu, Vero,
dan Rian. Untungnya si Bos tidak marah besar, hanya mengingatkan untuk tidak
bolos selama jam kerja.
“Ver…”
“Apa?”
“Kamu
tadi malam pulang jam berapa?” kamu bertanya sembari membetulkan
rambut ke belakang.
“Jam
satuan.”
“Jam
satu, jadi aku sendirian di rumah,” kata kamu membelalakkan mata kaget.
“Enggak,
ada pacar kamu yang nemenin.”
“Terus
yang nganter lo semalem siapa?” timpal Vero bertanya, nada
bicaranya terdengar bingung.
“Maksud
lo?”
“Nggak
tahulah, gue jadi bingung.”
“Emang
semalam gue ngapain. Bukannya gue tidur duluan.” Kamu coba mengingat kejadian
semalam, tapi tidak ada yang muncul dalam kepalamu.
“Iya,
jam sebelas lo tidur. Terus jam dua belas bangun, terus keluar.”
“Keluar
ke mana?” kamu semakin bingung mendengar penjelasan Vero yang
semakin tak masuk di akal.
“Nggak
tahu. Kamu keluar jalan kaki, terus balik sama Fanny.”
Mendengar ucapan
Vero semakin membuatmu tak mengerti, membuat kamu menggaruk kepala yang tidak
gatal.
“Siapa
pacar lo? Manis, ada lesung pipinya lagi,” kata Vero terdengar suka.
“Pacar
siapa? Gue baru bangun. Tahu-tahu tangan gue kok luka, makanya gue tanya lo.”
Wajah kamu berubah masam, kesal sendiri mendengar ucapan Vero.
“Iya,
kemarin Fanny bilang tangan lo sobek gara-gara melerai orang berantem di rumah
sakitnya.”
Kepala kamu mendadak
makin pusing mendengar penjelasan yang dikatakan Vero. Berantem? Rumah
sakit?
“Tuh,
cewek. Siapa namanya?”
“Fanny.”
“Iya,
Fanny. Dia bilang kerja di mana?”
Kamu bertanya hal
ini supaya kamu bisa menemuinya. Iya kan?
“Di
RS Husada 1.”
“Dia
nyebutin nama lengkap nggak?” kamu bertanya lebih mendetail,
berharap segera bertemu langsung dengan si pemilik nama.
“Enggaklah.
Buat apa juga gue tanya nama lengkapnya, emang mau ngelamar.”
Vero
selalu menyelipkan humor di sela bicara, ia memang pria humoris, tidak seperti
kamu.
Kamu tertawa
terkekeh. “Emang lo mau sama hantu,”
“Kok
hantu sih! Bukanlah, wong semalem kita berempat ngobrol banyak sama dia,”
seru Vero menyanggah tuduhanmu. “Yah, Dia sih bilang kalau dia
tuh perawat yang lagi magang, belum sepenuhnya jadi perawat.”
“Oh
ya, perawat,” balasmu dengan nada tak percaya.
“Eh,
udah ya. Gue mau anter adek gue dulu,” kata Vero sebelum menutup
telepon.
Kamu segera beranjak
dari tempat tidur, mandi, kemudian ganti baju. Menyambar kunci mobil yang ada
di atas nakas sebelah tempat tidur. Berjalan terburu-buru ke garasi selesai
mengunci pintu rumah, sebetulnya tadi kamu hampir saja lupa, sampai akhirnya kamu
ingat, memutar badan lalu mengunci pintu rumah lebih dulu.
Kamu membanting
setir, berbelok tajam di tikungan perempatan saat lampu kuning menyala. Sekarang,
kepalamu seolah penuh dengan pertanyaan, “kenapa”, “kok
bisa”. Kamu sadar kejadian-kejadian aneh terjadi setelah kamu
tinggal di rumah paman, tapi ... Hery bilang hantunya sudah diusir,
kenapa masih ada saja yang terjadi. Matamu melirik luka di lenganmu sembari
meringis kesakitan, kamu benar-benar tidak tahu apa yang terjadi semalam, yang kamu
ingat hanyalah tidur, dan bangun tidur.
Mungkin inilah
waktunya kamu untuk mencari tahu sendiri, jika kamu memang ingin tahu “kenapa”,
“kok bisa” gadis itu ada di saat kamu
tidak sadarkan diri.
Langkah tegapmu tak sesigap
hatimu yang meragu. Kamu duduk di kursi tunggu, menunggu dengan hati tak
tenang, setelah 5 menit yang lalu meninggalkan sebuah pesan di meja
resepsionis. Sekarang kamu basahi dulu bibirmu, bibirmu mulai kering sekering
kerongkonganmu, kupikir kamu harus minum sedikit untuk membasahi otakmu juga.
Sekembalinya dari kantin,
kamu terkejut, tapi tidak begitu yakin. Matamu mendapati sesosok makhluk
bermata sama seperti gadis yang kamu temukan di kamarmu pagi itu. Lihat! Gadis
itu menoleh kanan, kemudian ke kiri, pandangannya mengedar seolah sedang
mencari-cari seseorang.
Tunggu! Kenapa
matamu tak berkedip, kamu lihat apa?
Oo, ternyata itu toh
yang kamu lihat. Gadis yang mengangkat rambutnya ke atas, menguncir kuda. Manis
ya, semanis gulali rasa pelangi.
Perlahan tapi pasti,
kamu mendekati gadis itu, kemudian duduk di sebelahnya tanpa bersuara. Dia
terperanjat, terkejut melihat penampakan kamu yang tiba-tiba duduk di
sebelahnya. Kamu tidak tahu kalau dia malu, kamu hanya berpikir, kok dia geser duduknya, emang aku kuman.
“Kamu
Fanny kan.” Ujung jari telunjuk kananmu menunjuk di depannya. Matamu
menatap wajahnya lebih lama.
“Mmm,
iya,” jawabnya sedikit kaku, mungkin dia merasa canggung.
Sepi, kalian berdua
tiba-tiba terdiam tanpa kata. Saling membuang muka, mengatupkan bibir
masing-masing dengan ujung daun telinga yang memerah delima. Kamu berharap dia
akan bertanya tentang namamu atau yang lainnya.
“Mmm,
tangan kamu gimana? Masih sakit?” nada bicaranya terdengar
sedikit cemas.
Akhirnya dia bicara
setelah kamu berdeham kecil, mungkin dia paham jika itu sebuah isyarat.
“Nggak,
nggak apa-apa kok,” jawabmu berbohong, karena tadi
pagi pun saat mandi, lenganmu masih terasa sakit.
“Syukurlah.”
Seutas senyuman
simpul menarik garis matanya. Ada nada lega dari ucapan gadis itu dan sekarang
adalah waktumu untuk bertanya padanya.
“Mmm,
boleh tanya, jangan tersinggung ya.”
“Tersinggung?”
mukanya tampak bingung.
Hei! Yang jelas
ngomongnya. Lihat, dia jadi bingung
“Bukan,
maksudku,” kamu berhenti di awal bicara, berpikir sejenak
mencari sebuah kata yang pas untuk bertanya. “Mmm, semalam aku sama kamu?”
Gadis itu mengangguk
pelan.
“Apa
yang aku lakuin?” tanyamu ragu-ragu.
“Maksudnya?”
“Ya,
maksudnya semalam aku nemuin kamu terus tanganku luka.”
Dia mengangguk
sekali lagi. “Iya.”
Otak kecilmu mulai
berpikir, berpikir mencari jawaban dari semua ini.
“Fanny,
kok di situ, dari tadi dicariin.”
Kalian menoleh
bersamaan ketika seorang wanita berbadan gemuk, sekitar 90 kiloan memanggil
nama gadis itu dengan muka ketus.
“Iya,
Bu. Sebentar ada teman saya.” Wajah Fanny berubah, raut
mukanya berubah cemas.
“Kayaknya
aku ganggu. Kamu balik kerja deh,” katamu kalem, membiarkannya
kembali bekerja.
“Oke.
Maaf ya, nggak bisa lama-lama.” Kata-katanya terdengar sangat
tulus saat meminta maaf.
“Nggak
apa-apa.”
Baru dua langkah,
Fanny sudah membalikkan badan, dan berkata, “Nanti sore kamu bisa ke sini.
Gantiin perban kamu.”
“Oh,
oke. Nanti sore aku ke sini.” Kamu menggerakkan jari
menyerupai huruf O, sebagai tanda kalau kamu menyetujui permintaannya.
Kamu kembali ke
rumah setelah mengantongi janji bertemu lagi dengan Fanny. Anehnya, dari nada
bicaranya tadi—dia seperti sudah mengenal kamu—padahal
kalian baru saja ketemu. Dia bahkan tidak bertanya tentang namamu.
Seharian ini kamu
menghabiskan waktu di rumah untuk memperbaiki halaman belakang rumah yang
tandus, sudah dari kemarin kamu berniat untuk membersihkannya. Sedikit berhasil
membuatmu lupa tentang masalah hantu dalam rumah.
Matahari hampir
tenggelam di ufuk barat. Hei! Kamu lupa ya, kalau ada janji dengan Fanny. Sudah
jam berapa ini, benar-benar terlambat, kamu sih enggak lihat jam.
Kaget! Sumpah kaget.
Kamu baru saja mau berangkat, tiba-tiba saja Fanny sudah berdiri di depan pagar
pintu rumah. Sweater lengan panjang warna krem dengan celana denim warna
biru tua. Rambut panjangnya dikuncir kuda ke atas. Penampilannya yang casual
terlihat bersinar di matamu, seolah-olah ada lampu sorot yang menyoroti
wajahnya.
“Hai!”
“Hai!”
jawabmu melambaikan tangan sekali.
Kamu berjalan
sedikit berlari, terburu-buru membukakan pintu pagar untuknya.
“Ini
aku baru mau ke sana.” Kamu menunjukkan kunci mobilmu
di depannya.
“Nggak
apa-apa sekalian jalan. Aku dah biasa ke sini.” Saat itu juga Fanny mengulum
bibirnya ke dalam, menahan ucapan yang terlanjur keluar.
Bukannya tersenyum
manis, kamu malah tersenyum kecut saat mempersilakan Fanny masuk. Kalian
berjalan beriringan memasuki rumah. Dia seakan tidak canggung ketika masuk ke
dalam rumah dan ajaibnya, dia bahkan tahu letak dapur di
rumah ini. Kamu memandanginya tak percaya ketika Fanny menaruh buah ke atas
meja makan.
“Hei!
Tanganmu. Kenapa berdarah,” pekiknya bermuka panik.
Spontan membuatmu
menutupi luka yang ada di tangan kananmu “Nggak apa-apa. Tadi cuma
bersih-bersih.”
“Cuma
bersih-bersih masa sampai berdarah,” tukasnya mengomeli kamu, “tunggu
sebentar, aku ke kamar mandi dulu.”
“Kamar
mandi, ada di—“
“Aku
tahu kok.” Matanya melebar saat mengatakan hal itu,
seakan-akan dia tahu satu hal paling hebat. “Mmm, aku ke, kamar mandi dulu.”
Selesai dari kamar mandi,
Fanny kembali duduk di sebelahmu. Entah dari mana Fanny mendapat kotak obat, yang kamu tahu, dia
sedang sibuk mengobati lukamu sekarang, mengganti kasa penuh darah dengan yang
baru. Saat itulah hatimu tergelitik untuk bertanya.
“Fan,
dari mana kamu tahu?”
“Tahu
apa?” sela Fanny di tengah-tengah pertanyaan yang kamu
lontarkan.
Jari telunjuk kanan Fanny
menunjuk bergantian ke arah dapur dan kamar mandi. “Aku
yang desain rumah ini.”
Jantungmu seakan
berhenti sejenak ketika Fanny mengutarakan pengakuannya di depanmu.
“Kamu?”
“Ya,
aku pacarnya Mas Irwan.”
Irwan adalah nama
panggilan pamanmu dan gadis yang kini sedang menatapmu adalah bekas pacar pamanmu.
Benar adanya kalau Fanny yang mendesain rumah ini. Kamu ingat tidak? Paman
pernah bercerita kalau rumahnya di desain oleh pacarnya sendiri dan paman
berencana untuk menikahinya tahun depan.
Fanny pun
menceritakan semua yang dialaminya padamu. Tentang bagaimana sakit hatinya dia
ketika pamanmu tiba-tiba memutuskan hubungan secara sepihak. Fanny juga tidak
tahu kalau sebelum tiada, paman sempat dirawat di rumah sakit tempat dia
bekerja. Dan tentang malam itu, ketika kalian tidur bersama. Pukul 00.10
sepulang dari kerja, Fanny menemukan kamu duduk dengan kedua kaki selonjor di
depan rumah kontrakannya. Bisa kamu bayangkan, betapa susahnya dia malam itu, terpaksa
harus menyeret, dan memboncengmu sampai ke rumah. Bajumu basah gara-gara kamu
menampik segelas air yang diberikan Fanny padamu, karena khawatir, Fanny
memutuskan tidak pulang, dan tertidur hingga pagi.
“Aku
sampai bingung. Kamu diem aja, nggak bilang apa-apa. Cuma liatin aku terus.”
“Oya,
tadi malam juga.”
“Ya.”
“Terus
kamu tahu dari mana aku tinggal di sini.”
“Mau
tahu?”
“Enggak.”
Belum-belum kamu
sudah membayangkan hal seram lebih dulu.
Fanny menarik tangan
kirimu paksa, menautkan ibu jarinya ke jarimu, mengaitkan dengan jari telunjuk,
mirip gembok. Seutas senyum simpul tersungging dari bibirnya yang mungil.
“Aku
tahu kalau waktu itu kamu, Mas Irwan. Dan aku tahu kalau orang yang di depanku
sekarang adalah kamu.”
Helaan kecil
terdengar dari napas pendekmu. “Aku nggak bisa ngomong apa-apa
sekarang.”
“Ya
nggak usah ngomong,” balas Fanny menahan senyuman.
“Aku
tahu mungkin paman masih—“ katamu tak berniat melanjutkan bahasan tentang arwah
pamanmu. “Mmm, tapi jangan samakan aku dengan paman.”
“Ya
enggaklah.”
“Fanny.
Lihat aku.”
“Apa.”
“Sebelum
00.01 aku mau ngomong ini ke kamu. Sebelum aku berubah jadi bukan aku.”
Fanny menatap wajahmu
sambil senyum. “Apaan sih, mau ngomong apa?”
“Lihat
aku," pintamu padanya dengan muka serius.
Fanny melihat,
menatapmu, kemudian kamu berkata, "cuma ada kamu di mataku."
“Terus
kenapa?”
“I
think I'm in love with you.”
Saat itulah wajah
Fanny berubah memerah, semerah tomat yang baru matang. Kalian berdua saling
melempar senyum, senyum bahagia. Mungkin ini semua rencana paman, tapi kamu
lebih percaya kalau semua ini rencana Tuhan, mempertemukan kalian dengan cara
yang unik.
Brak!
Suara pintu. Kalian berdua menoleh kaget saat pintu rumah menutup sendiri dengan kasar.



Post a Comment
1 Comments
Wah, keren. Coba cerpennya lebih banyak. Pasti lebih seru bacanya
ReplyDelete